Desa Wisata Para Lelle

Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara

Para Lelle

SELAYANG PANDANG DESA PARA 

PROFIL DESA PARA & SEJARAH SINGKAT DESA PARA

E5-A12110-9065-42-BC-B9-DC-25-AD7-CDB73-A9

Jaman dahulu diperairan sebelah timur pulau Para terapung sebuah kapal Portugis. Kapal tersebut berada ditengah-tengah arus laut yang kuat dan gelombang yang besar sehingga terputar-putar dan tenggelam. Beberapa tahun setelah kejadian tersebut, dilokasi tenggelamnya kapal tersebut tersebut muncul /terbentuk sebuah pulau yang sama persis seperti bentuk kapal. Karena kapal tersebut berputar-putar (bahasa Sangihe "timenung") maka pulau tersebut dinamakan pulau Nenung. Pada saat tenggelamnya kapal tersebut, salah seorang penumpang wanita bernama Beatrix terdampar di sebuah pantai dan ditemukan oleh 3 orang dotu yang bernama Takapaha, Dolongpaha, dengan saudara perempuan mereka bernama Tanina. Beberapa saat kemudian Beatrix meninggal dan oleh ketiga dotu tersebut dimakamkan disalah satu bukit. Di bukit tersebut tumbuh pohon kamboja, maka bukit tersebut dinamakan bukit kamboja yang oleh mereka di jadikan gunung keramat. Kemudian ketiga dotu tersebut menanam pisang diseluruh areal perkampungan dan mereka membuat tempat menyimpan buah pisang yang mereka namakan Paha persis seperti tempat penjemuran ikan, karena pada saat itu buah pisang sangat banyak dan mereka tidak mampu menyimpannya, bahkan yang lain rebah sendirinya (bahasa Sangihe "maleka sisane") maka mereka menamakan tempat tersebut Para dengan nama sasaharanya malekaheng (dari kata maleka sisane). Pada saat itu pusat pemerintahan berada di pulau Siau yaitu di Pashen (bahasa belanda pusat pemerintahan) saat ini lokasi tersebut dikenal dengan nama Kampung Paseng. Ketiga dotu tersebut menjual pisang hasil panen mereka ke Paseng dan kembali dari Siau Paseng mampir (bahasa Sangihe " naotong") disebuah pulau. Setelah diteliti ternyata pulau tersebut merupakan tempat ikan malalugis, jika malam hari ikan tersebut seperti kunang-kunang (sejenis serangga yang mengeluarkan cahaya pada waktu malam) didalam air (bahasa Sangihe "maluha") maka pulau tersebut oleh mereka disebut pulau Singgaluhang hingga saat ini menjadi tempat mencari ikan dengan alat tradisional seke. Beberapa tahun kemudian dotu Takapaha dan Dolongpaha mengambil 2 orang perempuan dari Paseng untuk dijadikan istri mereka.

Setelah mendapat keturunan mereka menciptakan alat menangkap ikan yang mereka namakan Seke yaitu alat tangkap ikan yang terbuat dari bulu tui, " bulu tui" (bambu kuning kecil) "gomutu" (ijuk) dan kayu "nibong" (batang nira) serta daun kelapa.  

Setelah itu datang lagi sebuah kapal di kampung Para dan kapten kapal tersebut bernama Kasenda. Kasenda tinggal bersama dengan mereka di kampung Para, Salah satu penumpang kapal tersebut seorang laki-laki asal kerajaan Tahuna meminang Tanina saudara perempuan Takapaha dan Dolongpaha untuk dijadikan istrinya. Kemudian suami Tanina merasa tertarik dengan alat tangkap seke. Maka atas ijin kedua iparnya, Tanina dan suaminya membawah, seke ke Tahuna dan mencoba di salah satu tanjung (bahasa sangihe tonggene ) dan berhasil mendapatkan ikan malalugis, kemudian tanjung tersebut dinamakan tonggeng Pananekeng sampai sekarang. Setelah mereka berkumpul lagi di kampung Para dan beranak cucu, mereka mengangkat Kasenda menjadi pemimpin mereka karena dia berasal dari Kapten Laut, yang mereka sebut Kapitalaung (sebutan kepala desa saat ini).

GAMBARAN UMUM DAERAH DESA PARA

Para merupakan salah satu Desa dari tujuh desa di Kecamatan Tatoareng Kabupaten Kepulauan Sangihe provinsi Sulawesi utara. Sesuai data Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kementerian Dalam Negeri, Kampung Para memiliki Kode 7103041001 sebagaimana Sistem Informasi Desa dan Keluaran Kementerian Dalam Negeri.

KONDISI GEOGRAFIS DESA PARA

FADB2031-C920-4-C61-B842-F2-EF37-E63355
Desa Para merupakan wilayah Pulau dalam satu kawasan Kepulauan di Kecamatan Tatoareng, letaknya ± 5 mil dari Ibukota Kecamatan dengan luas wilayah + 461,11 ha. Desa Para berbatasan langsung dengan : Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Para 1 Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Maluku Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sitaro Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi

Desa Para terdiri dari 7 buah pulau masing-masing sbb :

1. Pulau Para
2. Pulau Nitu
3. Pulau Nenung
4. Pulau Bowondeke
5. Pulau Mamalokong
6. Pulau Singgaluhang
7. Pulau Sela

uniknya peta Desa Para Lelle ini mirip sekali dengan salah satu spesies Kuda Laut yang terkecil di dunia dan unik yaitu Pygmy Seahorse

CB21-ABF4-2472-4-AAF-8-ED7-EDD17-C2376-DB
Sumber Foto :  WIRED


POTENSI DESA PARA

93499549-30-D5-4667-8-B93-7-C59-EDB16-E30

Desa Para sebagai kawasan kepulauan dengan 7 buah pulau memiliki potensi wisata bahari yang menarik untuk dikunjungi dan dinikmati. Hamparan pasir putih dari beberapa menjadikan daya tarik tersendiri untuk wisatawan lokal maupun wisatawan manca negara. Selain itu daya tarik terumbu karang dengan keunikan spesies dan biota bawah air untuk para Diver.

63-AABB84-08-C4-4-D33-B919-137828-C48873

53014684-BCCC-485-A-9-F41-C4-C434-AB5-B6-F

F935812-B-8427-401-F-8-A58-0-DFC8653258-E
Sumber Foto : Pemerintah Desa Para Lelle

Potensi sumberdaya perikanan menjadi salah satu primadona desa Para, karena sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah nelayan. Desa Para juga salah satu pemasok produksi perikanan baik pasar kecamatan maupun di pasar di Kota Kabupaten. Potensi perkebunan kelapa juga menjadi salah satu potensi masyarakat yang bermukim di desa Para.

Hasil tangkapan ikan dari nelayan Desa Para per bulan rata2 ikan sahamia 800 kg dan rata2 ikan pelagis kecil 50 ton.

E38-ACC36-B621-4-F22-BCBA-B8-D4-FF007-A36

EC317-D77-31-AD-4366-B0-EA-F148-E85-AA0-B2

E34-EE6-CD-42-DE-41-C0-B7-CB-341629-B1976-D
Sumber Foto : Pemerintah Desa Para

Di Pulau Para, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara terdapat tradisi bahari yang unik yaitu tradisi menjaring ikan menggunakan alat tangkap tradisional Seke

Tradisi Seke mempunyai nilai sosial sangat tinggi yaitu kebersamaan warga Pulau Para untuk menangkap dan membagi hasil tangkapan ikan secara merata kepada seluruh warga.

Tradisi Seke kental dengan kearifan menjaga lingkungan karena Seke tergolong alat penangkap ikan yang ramah lingkungan dan adanya aturan masa konservasi pengembangbiakan ikan selama 6 bulan.

Tradisi Seke mulai ditinggalkan pada 2003 sejak peristiwa perebutan lokasi pencarian ikan di Pulau Sanggeluhang yang menewaskan 5 warga dan 1 orang anak kecil. Banyak tantangan untuk menghidupkan tradisi Seke–Maneke

Saat ini Tradisi Seke-Maneke sudah kurang atau bahkan tidak lagi digunakan. Tetapi pemerintah Desa Para dan masyarakat bersepakat untuk menghidupkan lagi tradisi menangkap ikan dengan menggunakan seke.

B9556539-B087-47-B9-A429-CEE0813977-DA
Kegiatan Adat Seke Meneke Desa Para Lelle

Sumber Foto : Pemerintah Desa Para Lelle

Desa Para sebagaimana desa-desa lain pada umumnya yaitu mempunyai iklim panas. Hal ini sangat berpengaruh pada usaha pengolahan ikan asin dimana 90% mata pencaharian masyarakat sebagai nelayan. Kependudukan Penduduk Desa Para didominasi oleh penduduk asli suku sangihe. Desa Para mempunyai jumlah penduduk 1044 jiwa dengan rincian menurut jenis kelamin 918 Laki - Laki dan 515 Perempuan.

Desa Para memiliki potensi wisata sejarah diantaranya adalah 

  1. Bukit Kali Susu
  2. Makam Raksasa Siage 
  3. Goa Bawah Air

Wisata sejarah ini sudah banyak dikunjungi oleh orang asing dan wisatawan lokal

BUKIT KALI SUSU 

Bukit Kali Susu ini adalah tempat makam anak Raja Portugis yang bernama Beatrix, dahulu setelah Beatrix meninggal Presiden Dr. (HC) Ir. Soekarno Hatta pernah mengunjungi makam anak Raja Portugis ini. Di area makan Beatrix ini memiliki koin koin uang yang sudah lama mulai dari tahun 1600san sampai 1900san 

Makam ini memiliki Bunga Kamboja yang berukuran hampir sama besar dengan Pohon Beringin.

A99-F80-D5-42-BB-45-A9-87-A2-DCB28-DE9-F63-E

832-A082-B-8-EFC-4873-9636-962954492192

3-F921961-0-B60-4-A31-830-E-0-A3-F2097-FF18
Sumber Foto : Pemerintah Desa Para

MAKAM RAKSASA SIAGE

Makam Raksasa Siage, dulu kalah Raksasa ini ada Raksasa yang sangat di benci oleh masyarakat Desa Para, karena Raksasa ini selalu mencuri hasil ikan dari masyarakat, pada suatu hari ada beberapa Nelayan dari Sanger Besar bersama masyarakat Desa Para sudah membuat rencana untuk membunuh Raksasa ini dengan senjata Khas Sangihe yaitu Karai (Tombak Besi) dan seiring berjalannya waktu Raksasa itu berkasil dibunuh dan dimakamkan dengan perahu besar dari nelayan di area Bukit Salise.

75-A89-FBD-A2-BA-464-A-ABBA-8-C0-EA903-F986

A9-C79-EB7-5-BB5-4567-A83-C-C99-D8-C88-B6-C2

B5075-F06-8-F09-4-FCE-9-DF8-0361-C4448-B4-C
Sumber Foto : Pemerintah Desa Para

GOA BAWAH LAUT

Goa Bawah Air ini adalah tempat persembunyiannya Tentara dari Filipina yang sedang di cari oleh rentara Portugis dan sampai sekarang Goa ini menjadi tempat yang sangat aneh dan unk karena di dalam goa ini memiliki pantai yang kecil dan memiliki udara untuk bernafas

TARIAN KEBUDAYAAN DESA PARA

Desa Para memiliki beberapa tarian adat kebudayaan, diantaranya : 

  1. Tarian Upase

Tarian Upase diambil dari kata “ Opas “, yaitu Pengawal Raja atau penjaga istana dan juga sebagai pesuruh khusus. Dengan demikian Tari Upase adalah tari yang melambangkan tindakan pengawalan terhadap sang raja, baik dalam perjalanan maupun di dalam istana.

49498683-EFD1-4965-BCAE-A038-C6-D8999-E
Sumber Foto : Pemerintah Desa Para

2.  Tarian Gunde

Pada  awalnya   tarian  gunde ditarikan  secara   perorangan  dikampung-kampung  oleh para  wanita yang  masih  perawan  pada  upacara  perkawinan   yang  menggambarkan  kesucian  seorang  wanita  sangihe. Gunde dalam  bahasa  sangihe  berarti  lambat. 
( A. Takaonselang-Manganitu,wawancara. 2006).

Pada suatu  masa  masuklah  kesenian  ini  menjadi  bagian  dari  kesenian  Istana  dikerajaan Manganitu. Penari  dipilih  dari  penari-penari  terbaik di tiap  kampung. Gerak  dasar  tari gunde  teradaptasi  dari  tari  lide. Mulanya   tarian ini  dipentaskan  sebagai  tarian  hiburan  untuk  raja, kemudian  berubah  fungsinya  menjadi  tarian  penjemput  tamu penting  kerajaan yang dilakukan di depan istana. Seiring  perkembangan  waktu,  ada beberapa  penari  gunde istana lalu  menjadi selir  raja. Persebaran  penari  gunde  meliputi  semua wilayah  kerajaan  Manganitu.

1-B40-F01-E-967-E-454-D-BFC7-5-C8-EBCF63828
Sumber Foto : Pemerintah Desa Para

3. Tarian Alabadiri 

Tari Alabadiri adalaha tarian tradisional asli daerah Sangihe Talaud yang diciptakan oleh Raja Daleroh Sulung, pada tahun 1718. Ketika tarian ini dipentaskan dalam acara kerajaan yang dihadiri oleh pejabat Pemerintah Belanda, maka orang Belanda itu menjadi kagum dan puas sehingga ia berucap “ ALBARDIR “ yang artinya pengawal. Kata Albardir langsung menjadi nama tarian tersebut. Namun karena dialeg warga Sangihe pada waktu itu, maka sebutannya menjadi “ ALABADIRI “ .

Tari Alabadiri menggambarkan pengawal bagi sang raja dan mengandung muatan spiritual yang cukup dalam. Tari ini dilakonkan oleh 13 orang ( 1 orang sebagai pengataseng/pemimpin ) jumlah ini sama dengan jumlah pengawal raja saat berada di ats perahu.

6-DB82-FDD-391-D-4-ABA-990-A-F4294-A14856-A
Foto Sumber : Barta1.com

4. Tarian Masamper

Masamper adalah kesenian tradisional masyarakat Noorder Einlanden (Bahasa Belanda). 
Noorder Einlanden artinya pulau-pulau lebih utara atau populer disebut Nusa Utara, atau SaTaS (Sangihe, Talaud dan Sitaro).

Masamper merupakan warisan leluhur berharga sejak abad XIII, yang berkembang dan dipelihara secara turun-temurun.

Saat itu bukan Masamper namanya, tetapi Tunjuke (tunjuk).

Tunjuke dinyanyikan secara massal dalam bentuk paduan suara atau koor sebagai seni pertunjukkan rakyat yang dinamis.

Yang dimaksud dengan Tunjuke adalah, jika lagu selesai dinyanyikan dan orang yang ditunjuk bersamaan dengan berakhirnya lagu dinyatakan sebagai pemimpin baru untuk menyanyikan sebuah lagu.

Kesenian Masamper merupakan grup seni bernyanyi yang memadukan dua unsur utama, yaitu vokal dan sentuhan geraka harus seirama, disertai dengan gerak tari dari si pembawa lagu (pengaha) dalam tradisi Masamper, tidaklah sekadar menyanyi bersama anggota. Bagian tengah lokasi masamper dibiarkan kosong, menjadi tempat bagi mereka yang mendapat giliran memimpin lagu. 
Masamper merupakan media pengungkapan jiwa, mengekspresikan jati diri dan secara khusus memiliki nilai yang universa, religius, interaksi sosial, historis, cinta bangsa dan tanah air, pendidikan dan identitas kultural.

62-C96-AC6-B4-A1-4-C32-AC63-2-A94-C10-A4-C0-AFoto Sumber : Pemerintah Kab. Sangihe

5. Ampa Wayer

Ampa wayer adalah jenis tarian berkelompok yang diiringi dengan musik, dan dipimpin oleh seorangkapel, dalam bahasa Sangihe disebut pangataseng atau pangaha. Ampa Wayer dikelompokkan sebagai kesenian rakyat bukan kesenian Istana. Kesenian ini berfungsi sebagai hiburan rakyat.

F5-DD905-F-80-C9-440-B-BE2-E-A836991-AEDF2
Sumber Foto : Pemerintah Desa Para

6. Budaya Beca

Tarian Beca merupakan tradisional dari masyarakat Desa Para. Tarian Beca biasanya di lakukan pada saat merayakan Natal sampai tahun baru dengan maksud mengiring kelompok untuk silaturahmi ke sesama warga yang ada di desa. 

Tarian Beca pada awalnya di iringi dengan alat musik tradisional akan tetapi seiring bekembangnya teknolgi tarian beca suda di iring dengan musik yang moderen. 
 2-AA7-E6-E0-70-F1-476-D-9-D1-E-6-AF036-F8-A247
Sumber Foto : Pemerintah Desa Para

PEMASARAN DIGITAL

Desa Para sudah membangun mitra kerjasama dengan AVMS Atourin dalam penjualan tiket trip online

Bagi wisatawan yang penasaran dengan paket wisata yang di tawarkan oleh Desa Para silahkan klick link dibawah ini untuk memesan tiket Trip Negri 8 Pantai 

https://atourin.com/v/pulauparalelle

dengan berbagai kategori tiket wisatawan dapat memilih paketanya ada yang 2 Hari 1 Malam dan 3 Hari 2 Malam.

8-EA7-DEEA-D5-FB-4-CA1-B280-EE87-DF69-C494

13-F276-FC-6-F75-4412-B1-AF-DE2-E8-E154-E1-F

7-E706314-1-CB2-4-DAE-8249-444629-ADDC9-C





Fasilitas

Balai Pertemuan

Cafetaria

Jungle Tracking

Kamar Mandi Umum

Kios Souvenir

Kuliner

Musholla

Outbound

Selfie Area

Spot Foto

Tempat makan

Produk Wisata