Desa Wisata Batu Lintang (Sungai Utik)

Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

Batu Lintang (Sungai Utik)

Desa Batu Lintang secara administratif berada dalam wilayah Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu. Secara geografis kawasan ini terletak pada posisi antara 5' LU - 104' LS dan antara 11°10'40" - 11°40'10" BT, terletak antara Sungai Kapuas bagian hulu di Kota Putussibau dengan daerah perbatasan negara dengan Serawak-Malaysia di Nanga Bangau. Mayoritas masyarakatnya adalah suku Dayak Iban menghuni  dua dusun, yaitu dusun Sungai Utik dan Dusun Pulan dengan  masing-masing dusun terdapat pengelola yang saling bersinergi dibawah kepemimpinan kepala desa. Sungai Utik menjadi titik utama, karena keberadaan rumah panjae (rumah betang/panjang) yang masih tradisional ada di dusun ini. Oleh karenanya, dusun Sungai utik menjadi pusat kunjungan wisatawan, sedangkan dusun Pulan menjadi salah satu lokasi daya tarik pendukung dengan kegiatan jelajah hutan dan pengamatan burung rangkong. 

Luas wilayah desa mencapai 17.453 hektar dengan jumlah penduduk 571 orang, dimana 298 orang di Dusun Sungai Utik dan 273 orang di dusun Pulan. Penduduk Dusun Sungai Utik tinggal secara komunal di Rumah Panjae (Rumah Betang) sepanjang 170an meter dan ada beberapa yang memutuskan membuat rumah pribadi (pelaboh) namun masih berada di sekitaran Rumah Panjae itu sendiri.

Sungai Utik dapat dijangkau dengan kendaraan bermotor, dengan jarak sekitar 75 km dari kota Kabupaten Putussibau dengan waktu tempuh melalui jalan aspal kurang lebih 1,5 jam. Sungai Utik sendiri merupakan nama suatu sungai jernih dengan aliran airnya masuk ke anak Sungai Kapuas dan nantinya bergabung ke dalam sungai besar ini sendiri. Namanya berasal dari kata ‘ute’, berarti putih, kemungkinan mengacu pada kejernihan air sungai ini. Masyarakat Sungai Utik mendiami rumah panjang sejak tahun 1972 di sini. Rumah betang itu sendiri sudah berpindah beberapa kali sebelum akhirnya dibangun di sini. 

Berladang, berkebun dan masuk ke hutan untuk berburu satwa liar dan mengambil hasil hutan serta menangkap ikan, adalah keseharian masyarakat ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu sebagaimana Suku Iban lainnya, warga di sini juga menghasilkan barang kerajinan seperti tenun dan anyaman tikar, keranjang atau gelang. Tidak ketinggalan adalah tatto Iban, merupakan salah satu ekspresi seni untuk menunjukkan jati diri dari Suku Iban.  Semua keseharian ini masih dilingkupi dengan budaya yang sangat kental sehingga masih bisa ditemukan banyak ritual-ritual sakral disetiap sendo kehidupan. 

 Masyarakat Sungai Utik tidak bisa dilepaskan dari perjuangan untuk menjaga hutan. Upaya masyarakat Sungai Utik memperjuangkan hutan mereka dari perusahaan yang diberi hak untuk pemanfaatan kayu, banyak mendapatkan perhatian dan bantuan dari berbagai pihak seperti dari aliansi masyarakat adat, organisasi lingkungan, organisasi pemberdayaan masyarakat, lembaga pemberi dana hibah, maupun kalangan akademisi. Setelah berjuang lama pada akhirnya pengakuan pertama datang di tahun 2008, dimana Sungai Utik menjadi desa adat pertama yang meraih penghargaan Sertifikat Ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia. Perjuangan masyarakat dibawah bimbingan Apai Janggut -tokoh adat dan pejuang lingkungan hidup- membuahkan hasil, mereka dinobatkan sebagai pemenang Kalpataru katagori penyelamatan lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada bulan Juli 2019. Dua bulan berikutnya, pada bulan September mereka dinobatkan sebagai pemenang Equator Prize dari UNDP [United Nations Development Programme]. Penghargaan bergengsi di tingkat internasional ini di terima langsung oleh Apai Janggut dan masyarakat di New York, Amerika Serikat pada 24 September 2019. Tidak berhenti disini, pada November 2019, melalui SK Bupati Kapuas Hulu No. 561 Tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak Iban Menua Sungai Utik Ketemenggungan Jalai Lintang Kecamatan Embaloh Hulu. Hal ini menjadi landasan untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 20 Mei 2020 menetapkan hutan Adat Menua Sungai Utik untuk diberikan kepada masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik Ketemenggungan Jalai Lintang seluas 9.480 hektar, melalui SK Nomor: 3238/MENLHK-PSKL/ PKTHA/PSL. 1/5/2020. Masyarakat Menua Sungai Utik Kembali mendapat penghargaan internasional, kali ini Apai Janggut sebagai tuai rumah panjae Dayak Iban Sungai Utik menerima penghargaan Gulbenkian Prize for Humanity ke empat dari Yayasan Calousto Gulbenkian di Lisabon, Portugal, pada juli 2023. Apai diakui telah berjasa selama puluhan tahun untuk menjaga dan memulihkan hutan serta kontribusinya memitigasi dampak perubahan iklim. Apai Janggut terpilih bersama sosok lain dari Kamerun dan Brasil, mereka terpilih dari 143 nominasi dari 55 negara. Hutan yang terjaga, air sungai yang tetap jernih, ikan ikan yang melimpah serta satwa yang bebas beraktivitas dan berkembang biak, menjadi nilai penting bukan saja bagi masyarakat desa Batu Lintang, namun juga manfaat bagi banyak masyarakat sekitarnya. 

Beberapa tahun belakangan, kegiatan ekowisata juga mulai berkembang dan para wisatawan mulai berdatang untuk menikmati rumah panjae/betang yang masih otentik, hutan yang masih asri, sungai jernih dan kehidupan tradisionil masyarakat Iban. Masyarakat Sungai Utik sepakat untuk menggunakan konsep ekowisata, karena konsep ekowisata dinilai sejalan dengan filosofi masyarakat dayak iban, dimana alam perlu dijaga dan dimanfaatkan secara lestari. Ekowisata harapannya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, menuai hasil dari usaha mereka menjaga dan merawat hutan. Hutan lestari beserta masyarakat adat yang masih menjalankan tradisi leluhur dengan pengetahuan tradisionalnya, menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung, karena menawarkan pengalaman baru dan otentik di tengah moderenisasi.





Fasilitas

Areal Parkir

Balai Pertemuan

Jungle Tracking

Kamar Mandi Umum

Kios Souvenir

Kuliner

Spot Foto

Tempat makan

Wifi Area

Atraksi